Antara Pendidikan dan Manusia Indonesia Seutuhnya
Oleh;Drs. Mukhlis Takwin, S.H.
(Staf Pengajar di SMA Negeri 5 Banjarmasin)
Kata pendidikan dan manusia Indonesia seutuhnya tentu tidak asing lagi bagi rakyat Indonesia, teristimewa pada era orde baru, dimana salah satu jargon pembangunan Indonesia yang didengungkan adalah “membina manusia Indonesia seutuhnya”, yang sampai keruntuhannya tetap hanya sebagai jargon yang jauh dari realita pencapaian.
Memaknai manusia Indonesia seutuhnya, terpapar gambaran orang Indonesia yang sehat jasmani dan rohani, cerdas, kreatif, menguasai iptek serta berakhlak mulia berdasar nilai-nilai Pancasila guna meraih tujuan dan cita-cita nasional, yakni masyarakat sejahtera, adil dan makmur.
Namun sampai usia kemerdekan mendekati 62 tahun, gambaran manusia seutuhnya, nampaknya masih jauh panggang dari api, dalam artian perjalanan untuk sampai kesana masih sangat samar-samar dan bahkan semakin kabur, sehingga oleh sebagian kalangan merebak pikiran apatis tuk sampai kesana.
Lalu apa yang membuat kita begitu sulit untuk sampai kesana?. Bukankah sejak awal kemerdekan, pemerintah telah mencanangkan pencapaian itu (baca; masyarakat sejahtera, adil dan makmur), yang oleh pendiri bangsa secara khusus dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, sebagai kaidah fundamental bangsa yang wajib dilaksanakan dan tidak boleh dirubah sebagai manifestasi dari amanat penderitaan rakyat dan karenanya kita mendirikan negara yang merdeka dan berdaulat?
Kalau boleh dikatakan, inti permasalahannya sebenarnya ada pada proses pendidikan. Hal mana kita ketahui bersama bahwa pendidikan adalah jalan utama meraih ilmu pengetahuan dan dengan ilmu pengetahuan kita bisa mengarahkan jalan hidup kita sebagai manusia sesuai dengan apa yang kita canangkan. Bukankah ada ungkapan “siapa yang hendak menguasai dunia hendaklah memiliki ilmu pengetahuan, dan siapa yang hendak menguasai dunia dan akhirat hendaklah memiliki ilmu pengetahuan”. Betapa krusial dan pentingnya ilmu pengetahuan yang nota bene dicapai melalui pendidikan.
Nah, bagaimana pendidikan kita selama ini?. Jujur dikatakan bahwa pendidikan atau sistem pendidikan Indonesia masih mencari bentuk, sehingga kesan ganti menteri ganti kebijakan, tidaklah salah. Fakta yang paling gress adalah penerapan kurikulum pendidikan pada tingkat sekolah dasar dan menengah, dimana untuk sosialisasi kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004 belum sepenuhnya merata, atau sedang gencar-gencarnya dibicarakan/didiskusikan oleh kalangan pendidik/guru, pertengahan tahun 2006 telah diperkenalkan pula kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006 yang oleh pemerintah disebut penyempurnaan KBK 2004. Pemerintah/penyusun kurikulum boleh saja menyebut demikian, tetapi para pendidik/kalangan guru yang mempraktekkan dilapangan begitu kelabakan untuk menyikapinya sehingga oleh sebagian guru tidak percaya dengan perubahan (istilah pemerintah; penyempurnaan) KBK 2004 menjadi KTSP 2006, dengan mengatakan KaTe SiaPa.
Belum lagi kalau kita bicarakan keadaan guru, dimana untuk SDM masih sangat perlu untuk dibina secara “revolusioner”, terstruktur dan kedepan harus mulai sejak perekrutan. Mengapa guru menjadi salah satu fokus, karena setuju atau tidak setuju, ditangan para gurulah terletak mutu/kualitas pendidikan. Yang ironi, oleh para pemimpin bangsa sejak era Bung Karno, Soeharto sampai Presiden SBY sekarang, perhatian akan guru dan pendidikan tidak pernah/belum betul-betul menjadi prioritas dari kebijakan. Era Bung Karno sibuk dengan elan revolusionernya yang mengira rakyat akan terdidik melalui gerakan massa yang bersifat politik, Soeharto yang ucapannya mengakui pentingnya pendidikan, namun realitanya saat Indonesia untung besar (windfall profit) dari minyak tahun 1970, pendidkan justru menjadi komoditas yang paling rendah dari pembangunan, dan di era reformasi ini meski pada UUD 1945 yang diamandemen jelas menyebutkan tentang prioritas pembangunan untuk pendidikan minimal 20% dari APBN dan/ APBD (pasal 31 ayat 4 UUD 1945), namun realitanya masih sebatas wacana bahkan putusan Mahkamah Konstitusi tentang perlunya pemerintah mengalokasikan anggaran sebagaimana tersebut (putusan muncul dari gugatan guru/pendidik untuk uji materil terhadap kebijakan pemerintah terhadap pendidikan yang diwakili PGRI) juga bias tanpa makna.
Pada pemerintahan SBY ini sempat muncul harapan lebih, dimana dengan telah disahkannya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mutu dan kualitas guru dapat ditingkatkan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan, dimana dalam UU tersebut disebutkan bahwa gaji seorang guru minimal dua kali dari gaji PNS biasa ditambah penghasilan lainnya yang kalau ditotal berkisar 3 – 5 juta rupiah perbulan. Bukankah sebagian guru tidak dapat sepenuhnya mencurahkan perhatian pada anak didiknya karena disibukkan oleh pekerjaan sambilan untuk menopang kehidupan dan kebutuhan rumah tangganya yang besar?. Namun, sekali lagi harapan itu harus ditelan dulu, karena rancangan peraturan pemerintah sebagai petunjuk teknis pelaksanaan UU itu sampai sekarang belum turun dan entah kapan diturunkan.
Padahal, dengan makin berkembangnya manusia, berkembang pula ilmu pengetahuan dan teknologi disegala bidang, dan ini membawa konsekuensi pada pendidikan untuk menyesuaikan langkahnya agar tetap relevan, termasuk para guru yang tidak boleh puas dengan meode mengajar klasik seperti ceramah bervariasi, tetapi harus mampu dan mahir menggunakan perangkat multi media dalam pembelajaran. Keadaan ini menjadikan pendidikan mahal dan akan menjadi kian mahal seiring dengan bertambahnya manusia, karena pendidikan bermutu dan berkualitas tidak hanya untuk segelintir rakyat tetapi merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika bangsa Indonesia ini sejahtera, mayoritas berpenghasilan cukup, maka rakyat tidak masalah untuk berperan utama melalui sumbangan yang dikelola oleh Komite Sekolah dan pemerintah hanya sekedar penentu kebijakan umum dan pengatur dengan anggaran seadanya, tetapi jika bangsa Indonesia (dan inilah yang sebenarnya) tergolong sedang berkembang, warga yang kaya terbatas jumlahnya, maka peran utama pendidikan tidak mungkin ditangan rakyat. Jika tetap dilakukan, hanya anak orang kaya yanmg mendapat pendidikan yang bermutu, sedangkan mayoritas anak bangsa tidak sekolah atau harus puas dengan pendidikan yang kurang bermutu. Dan dalam jangka panjang akan mencelakakan bangsa. Sebagai bahan renungan bahwa Indonesia oleh UNDP PBB dalam Index Pembangunan Manusia, berada pada peringkat 112, Vietnam diposisi 109, Filipina 85, Thailand 74, Brunei darussalam 31, Singapura 28, Hongkong 26, Jepang 9 dan AS peringkat 7.
Dari paparan tersebut diatas, nyata bagi kita bahwa manusia Indonesia seutuhnya yang diidamkan, ternyata masih jauh dari yang diharapkan, dan dengan momentum hari pendidikan dan kebangkitan Nasional di bulan Mei 2007 ini, semoga semua elemen bangsa (pemerintah, DPR dan rakyat keseluruhan) mampu menyatukan tekad untuk evaluasi kebijakan guna perubahan dengan titik utama pada sektor pendidikan, karena hanya dengan pendidikan yang maju, bermutu dan berkualitas yang mampu membawa bangsa ini survive dalam era globalisasi yang penuh tantangan dan dinamika. Dengan kata lain dengan kondisi bangsa kita seperti sekarang, tidak ada pilihan bagi pemerintah untuk tidak mengalokasikan prioritas utama anggaran pembangunan pada sektor pendidikan, jika ingin membuat bangsa ini maju sejajar dengan bangsa lain guna menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur sebagaimana yang dicita-citakan. Amiin.