BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat”, ungkapan ini menggambarkan betapa pentingnya pendidikan dan pendidikan harus dilakukan seumur hidup yaitu dari buaian hingga ke liang lahat. Sejalan dengan ungkapan tersebut di atas, para pendiri negara kita juga menyadari arti pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia, hal ini terbukti dengan dimuatnya tujuan negara seperti yang tercantum di dalam alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “ ....untuk membentuk suatu pemerintah Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ....”.
Selanjutnya di dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 31 ayat (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang, (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia.
Dari ketentuan pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 tersebut di atas, dapat dimaknai bahwa pendidikan merupakan hak dari setiap warga negara dan merupakan kewajiban dari pemerintah untuk membiayai pendidikan tersebut. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pendidikan juga termasuk salah satu hal yang diatur sebagaimana bunyi pasal 12 yakni: :Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia.”
Sesuai dengan amanat dari Undang-Undang Dasar 1945, maka pada tanggal 8 Juli 2003 dikeluarkanlah Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, dimana pada Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Untuk mewujudkan tujuan agar peserta didik mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta mempunyai keterampilan, maka dibutuhkan suasana tempat pembelajaran yang bisa menyenangkan, mengasikkan, dan mencerdaskan peserta didik. Sekarang yang menjadi pekerjaan yang harus kita lakukan adalah menciptakan sekolah sebagai tempat yang menyenangkan, mengasikkan dan mencerdaskan sehingga peserta didik tidak merasa belajar merupakan pekerjaan yang membosankan dan bukan merupakan suatu beban yang harus dijalankan, melainkan sekolah sebagai tempat yang diidam-idamkan dan merupakan suatu kebutuhan bagi dirinya.
Dalam menciptakan suatu suasana belajar yang menyenangkan, mengasikkan, mencerdaskan dan tidak membosankan, diperlukan peran seorang guru atau tenaga pengajar yang kreatif yang bisa menerapkan metode belajar yang dikehendaki dan disukai oleh peserta didik.
Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan di semua jenjang pendidikan formal mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam pembinaan dan pemahahaman bagi warga negara terutama bagi peserta didik akan dasar negara dan konstitusi akan menjadi bias dan kurang menarik kalau penyampaiannya tidak maksimal dengan metode yang sesuai.
Permasalahannya adalah bagaimana upaya guru melaksanakan pembelajaran PKn agar peserta didik tertarik dan mampu memahami materi dengan baik sekaligus dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari dan membuat pembelajaran PKn sebagai suatu pelajaran yang menyenangkan, mengasikkan dan mencerdaskan, sehingga materi PKn bisa diserap oleh peserta didik dan bisa mendapatkan hasil yang memuaskan. Berpijak pada hal tersebut maka penulis tertarik untuk mengangkat apa yang penulis alami dan lakukan dalam suatu tulisan dengan judul; “Memahami Esensi Materi Pendidikan Kewarganegaraan melalui Metode Proyek”.
B. Permasalahan
Adapun permasalahan yang dibahas adalah:
- Bagaimana pemahaman peserta didik terhadap materi PKn di SMA?
- Bagaimana penerapan metode proyek dalam memahami esensi materi PKn di sekolah
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
- Untuk mengetahui pemahaman peserta didik terhdap materi PKn dii SMA
- Untuk mengetahui penerapan metode proyek dalam memahami esensi materi PKn di sekolah
D. Kegunaan
Mengenai kegunaan dari penulisan ini diharapkan:
1. Dapat memperdalam dan meluaskan wawasan akan metode pembelajaran materi pendidikan kewarganegaraan di sekolah.
2. Dapat menjadi salah satu kajian dan sumbangan pemikiran dalam forum ilmiah guru
E. Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi kepustakaan dan observasi yakni menelaah beberapa literatur yang berkaitan dengan pembahasan dan pengamatan sehari-hari.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Materi Pendidikan Kewarganegaraan
Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memusatkan perhatian pada pengembangan kecerdasan, warga negara (civic intelegence) dalam demensi spiritual, rasional, emosional, dan sosial, baik secara individu, sosial, maupun sebagai pemimpin hari ini dan esok. Permendiknas No.22 tahun 2006 tentang standar isi jelas menyatakan bahwa PKn adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakater yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 dengan ruang lingkup materi; Persatuan dan Kesatuan Bangsa; Norma, Hukum dan Peraturan; Hak Asasi Manusia; Kebutuhan Warga Negara; Konstitusi Negara; Kekuasaan dan Politik; Pancasila; Pers dan Globalisasi.
Adapun tujuan PKn untuk setiap jenjang pendidikan adalah mengembangkan kecerdasan warganegara yang diwujudkan melalui pemahaman, keterampilan sosial dan intelektual serta partisipasi dalam memecahkan permasalahan lingkungannya. Selanjutnya dalam Permendiknas No.23 tahun 2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar disebutkan bahwa tujuan pembelajaran PKn adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Berfikir secara kritis, rasional, dan menanggapi isu kewarganegaraan.
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, bernegara serta anti korupsi.
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa kainnya.
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam paradigma baru ini, PKn membawa misi menciptakan warga negara Indonesia yang cerdas, demokratis, dan religius, yaitu mereka yang secara konsisten melestarikan dan mengembangkan cita-cita, demokratis, dan secara bertanggung jawab berupaya untuk membangun kehidupan bangsa yang cerdas ( Depdiknas, 2000 : 2). Peserta didik yang cerdas sangat nampak dari bagaimana keaktifannya dalam proses pembelajaran. Dilihat dari struktur keilmuannya, Pendidikan Kewarganegaraan paradigma baru mencakup tiga dimensi keilmuan, yaitu dimensi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan karakter atau watak kewarganegaraan (civic dispositions). Keadaan ini berimbas pada keharusan guru PKn memiliki wawasan luas dan mampu mengikuti perkembangan pengetahuan regional dan global yang bisa diperoleh melalui beragam bahan bacaan dan penguasaan teknologi informasi seperti internet, untuk kemudian diaplikasikan dalam metode pembelajaran di kelas.
B. Metode Proyek
Kata “proyek” berasal dari bahasa latin “proyektum” yang artinya maksud, tujuan, rancangan, rencana. Jadi memproyeksikan berarti merancang, merencanakan, dengan maksud dan tujuan tertentu, yaitu mempunyai planning yang baik di dalam kegiatan tahunan dan sebagainya. Adapun menurut Poerwadarminta (1958) dalam kamus besar bahasa Indonesia, proyek adalah mencari pekerjaan dengan sasaran khusus. Jika dikaitkan dengan peserta didik, maka proyek yang dimaksud adalah suatu pekerjaan yang harus diselesaikan dengan tujuan yang jelas, apakah itu mengadakan karyawisata, telaah koran atau diskusi atas hal-hal yang lain yang ramai di masyarakat. Yang pokok dalam metode proyek ialah “the active purpose of the learner”. Peserta didik itu sendiri harus menerima proyek itu dan melaksanakannya. Kalau peserta didik sedang membuat jembatan atas perintah guru, itu bukan suatu proyek. Sebaliknya jika peserta didik membaca buku didorong oleh keinginan mencari atau memahami sesuatu, itu termasuk proyek
Metode proyek adalah cara mengajar dengan jalan memberikan kegiatan belajar pada peserta didik, dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih, merancang dan memimpin pikiran serta pekerjaannya.. Menurut Ahmadi dan Prasetya (2005: 70) mengemukakan bahwa metode proyek (unit) adalah suatu metode mengajar dimana bahan pelajaran diorganisasikan sedemikian rupa sehingga merupakan suatu keseluruhan atau kesatuan bulat yang bermakna dan mengandung suatu pokok masalah.
Sedangkan menurut Roestiyah (2001: 81) metode proyek berarti rencana, suatu problem atau kesulitan, dan bentuk pengajaran dimana murid mengelola sendiri. Adapun Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, memaparkan metode proyek, adalah suatu cara penyajian pelajaran yang bertitik tolak dari suatu masalah. Kemudian dibahas dari berbagai segi yang berhubungan, sehingga pemecahannya secara keseluruhan dan bermakna.
Metode proyek adalah suatu cara mengajar yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menggunakan unit-unit kehidupan sehari-hari sebagai bahan pelajarannya, bertujuan agar peserta didik tertarik untuk belajar.
Pembelajaran dengan metode proyek merupakan pembelajaran yang berpusat pada proses, relatif berjangka waktu, berfokus pada masalah, unit pembelajaran bermakna dengan memadukan konsep-konsep dari sejumlah komponen baik itu pengetahuan, disiplin ilmu atau lapangan. Pada pembelajaran dengan metode proyek, kegiatan pembelajarannya berlangsung secara kolaboratif dalam kelompok yang heterogen. Mengingat hakikat kerja proyek adalah kolaboratif, maka pengembangan keterampilan belajar berlangsung diantara peserta didik. Pada pembelajaran berbasis proyek kekuatan individu dan cara belajar yang diacu dapat memperkuat kerja tim sebagai suatu keseluruhan.
Ada beberapa kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi pembelajaran metode proyek. Pendapat Thomas yang dikutip Herminarto Sofyan (2006: 298) menyatakan ada lima kriteria pembelajaran dengan metode proyek yaitu keterpusatan (centralita), berfokus pada pertanyaan atau masalah, investigasi konstruktif atau desain, otonomi peserta didik, dan realisme.
Menurut Ahmadi (2003) langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan metode proyek adalah sebagai berikut:
1. Penyelidikan dan observasi (exploration)
Guru mengajukan pertanyaan lisan, memberi keterangan singkat serta mengetes para pelajar mengenai pengetahuan mereka tentang mata pelajaran yang akan dipelajari lalu memberi tugas kepada peserta didik untuk meneliti materi yang akan dipelajari.
2. Penyajian bahan baru (presentation)
Guru memberikan garis besar tentang bahan pelajaran.
3. Asimilasi/pengumpulan keterangan atau data
Para pelajar mencari informasi, keterangan atau fakta-fakta untuk mengisi pokok-pokok yang penting. Dalam langkah ini pelajar mencari data dari sumber-sumber unit (resource unit = sumber yang berisi berita, fakta, informasi dan sebagainya tentang unit yang sedang dipelajari).
4. Mengorganisasikan data (organization)
Dalam langkah ini, pelajar dibawah pimpinan guru aktif mengorganisasikan data, fakta dan informasi, missal menggolongkan data, mengolah data untuk mengambil kesimpulan. Daya berpikir dan daya menganalisis memainkan peran penting dalam langkah ini.
5. Mengungkapkan kembali (recitation)
Para pelajar mempertanggungjawabkan atau menyajikan hasil yang diperolehnya. Laporan pertanggungjawaban ini dapat dilakukan dengan lisan maupun tertulis atau keduanya.
Metode ini memantapkan pengetahuan yang diperoleh anak didik. Menyalurkan minat dan melatih anak didik menelaah suatu materi pelajaran dengan wawasan yang lebih luas.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pemahaman Peserta Didik terhadap Materi PKn
Kalau kita meluangkan waktu untuk mencermati keadaan bangsa da negara kita beberapa tahun terakhir ini, baik melalui media massa maupun di lingkungan sekitar kita sehari-hari, akan tampak berbagai permasalahan sosial, seperti terjadinya pelecehan seksual, pembunuhan, kasus korupsi, tawuran antar peserta didik maupun mahapeserta didik bahkan melebar pada konflik antar suku di masyarakat dan masih banyak lagi yang lainnya. Hal ini memberi bukti, bahwa pemahaman dan pengamalan akan dasar negara Pancasila dan UUD 1945 yang nota bene esensi materi pendidikan kewarganegaraan (PKn) belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Dari pengamatan dan diskusi terbatas dengan guru PKn, baik di Kelompok Kerja Guru PKn SMAN 5 Banjarmasin maupun di MGMP PKn SMA/MA Kota Banjarmasin didapat beberapa faktor yang menyebabkan peserta didik kurang memahami pembelajarn PKn dan belum mengamalkan dengan baik Pancasila dan UUD 1945, yang antara lain adalah :
1. Faktor luasnya materi dengan jumlah jam terbatas membuat pembahasan materi terkesan dikebut untuk mempercepat jangkauan tuntutan materi sehingga terkesan sekedar diketahui tanpa perlu pemahaman mendalam oleh peserta didik.
2. Faktor perkembangan materi pelajaran PKn yang sangat cepat beriringan dengan perkembangan ketatanegaraan di negara kita, dan karena cepatnya perkembangan ini, maka buku-buku pelajaran yang dijadikan pegangan dalam mata pelajaran PKn yang terbitnya terlambat, sehingga peserta didik sangat sulit dalam mencari pegangan buku PKn.
3. Faktor metode yang minim variasi digunakan oleh guru, di karenakan kurangnya wawasan tentang macam metode pembelajaran dan telah terbiasa dengan metode yang ada selama beberapa tahun membuat peserta didik mengalami kejenuhan dan kurang fokus memperhatikan pembelajaran.
Paulo Freire seorang tokoh pendidikan dari Brazil mengkritik proses pendidikan yang berjalan selama ini, menurutnya pada umumnya pendidikan sekarang orang menganggap bahwa anak masih sangat tergantung, sedangkan orang dewasa sudah memiliki otonomi. Asumsi semacam ini membawa akibat bahwa pendidikan menjadi lebih terpusat pada tenaga pengajar, dan peserta didik dimana dalam keadaan seperti ini menjadi pasif, peserta didik hanya menjadi peniru, penghafal, dan tukang pengingat yang tidak menyentuh lubuk hatinya. Freire menganggap bahwa pendidikan semacam ini sebagai pendidikan yang menekan martabat manusia, pendidikan yang memperkuat sistem penindasan, padahal tenaga pengajar hendaknya hanyalah membantu di dalam peserta didik menempuh proses belajar menemukan dirinya (Paulo Freire, 1985).
Lebih lanjut Friere menggambarkan bahwa pendidikan sekarang ini pada umumnya bersifat :
(1). Guru yang mengajar, peserta didik yang diajar.
(2). Guru mengetahui segala macam, peserta didik tidak mengetahui apa- apa.
(3). Guru berpikir, peserta didik yang dipikirkan.
(4). Guru berbicara, peserta didik mendengarkan dengan tenang.
(5). Tenaga pengajar mengenakan disiplin, peserta didik yang dikenakan disiplin.
(6). Guru yang memilih dan memaksakan isi program, sedangkan peserta didik hanyalah menyetujuinya.
(7). Guru sebagai subjek di dalam proses pembelajaran, sedangkan peserta didik sebagai objek.
Melihat ketiga faktor penyebab tersebut di atas, nampaknya hanya faktor yang ketiga (metode mengajar) yang dapat di atasi atau diperbaiki langsung oleh seorang tenaga pengajar (seorang guru), dan diharapkan dengan perbaikan metode pengajaran, maka faktor terbatasnya jam dan luasnya materi PKn serta faktor perkembangan materi PKn yang sangat cepat bisa teratasi, sehingga peserta didik merasa belajar PKn adalah sesuatu yang menyenangkan, mengasikkan, mencerdaskan dan tidak membosankan.
B. Metode Proyek, Suatu Upaya Memahami Esensi Pelajaran PKn
Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan peserta didik atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam hubungan edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan peserta didik dalam peristiwa belajar mengajar mempunyai arti yang lebih luas, tidak sekedar hubungan antara guru dan peserta didik, tetapi berupa interaksi edukatif. Dalam hal ini bukan hanya penyampaian pesan berupa materi pelajaran saja, melainkan penanaman sikap dan nilai pada diri peserta didik yang sedang belajar.
Kata “proses” dalam proses belajar mengajar merupakan interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat dalam proses belajar mengajar yang satu sama lain saling berhubungan (interdependent) dalam mencapai tujuan. Adapun komponen belajar mengajar meliputi tujuan instruksional yang hendak dicapai, materi pelajaran, metode mengajar, alat peraga pengajaran, dan evaluasi sebagai alat ukur tercapai atau tidaknya suatu tujuan pembelajaran.
Mengajar merupakan suatu perbuatan atau pekerjaan yang bersifat unik tetapi sederhana, diakatakan unik karena berkenaan dengan manusia yang belajar dan manusia yang mengajar dan bertalian erat dengan manusia di dalam masyarakat yang kesemuanya menunjukkan keunikan. Dikatakan sederhana karena mengajar dilaksanakan dalam keadaan praktis dalam kehidupan sehari-hari, mudah dihayati oleh siapa saja. Mengajar pada prinsipnya adalah membimbing peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar yang mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasikan peserta didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan terjadinya proses belajar mengajar. Hal ini mengandung makna bahwa guru dituntut untuk dapat berperan sebagai organisator kegiatan belajar mengajar, baik yang ada di dalam kelas maupun di luar kelas, yang menunjang terhadap kegiatan belajar mengajar, yang menurut W.H.Burton dikatakan sebagai “teaching is the guidance of learning activities”(Moh. Uzer Usman, 1994; 3).
Guru merupakan suatu profesi atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus. Jenis pekerjaan ini mestinya tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. Pada pasal 1 butir 1 dan pasal 2 ayat(1) UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, jelas dinyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dan mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan anaj usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup, mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan kepada peserta didik.
Tugas guru dalam bidang kemanusiaan meliputi bahwa guru di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Guru harus mampu menarik simpati sehingga ia menjadi idola para peserta didik. Pelajaran apapun yang diberikannya, hendaknya dapat dapat menjadikan motivasi bagi peserta didik dalam belajar.
Sejak dulu, guru menjadi panutan masyarakat. Guru tidak hanya diperlukan peserta didik di ruangan kelas, namun juga diperlukan oleh masyarakat di lingkungannya dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Tampaknya masyarakat mendudukkan guru pada tempat yang terhormat di dalam kehidupan masyarakat seperti ungakapan “Ing ngarsa sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”.
Kedudukan guru yang demikian senantiasa relevan dengan zaman, kedudukan yang demikian merupakan penghargaan, tetapi juga merupakan tantangan yang menuntut prestise dan prestasi yang senantiasa terpuji dan teruji dari setiap guru, bukan saja di depan kelas, tetapi juga di tengah-tengah masyarakat.
Sebagaimana diuraikan pada bagian terdahulu bahwa yang bisa dilakukan oleh seorang guru dalam mengatasi permasalahan yang pertama yaitu masih relatif rendahnya pemahaman dan pengamalan akan dasar negara Pancasila dan UUD 1945 (belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan) oleh peserta didik, adalah dengan melakukan perbaikan metode pengajaran, dan dengan perbaikan metode pengajaran diharapkan faktor terbatasnya jam dan luasnya materi pelajaran PKn, serta faktor cepatnya perkembangan materi pelajaran PKn yang mengakibatkan kurangnya buku pelajaran PKn bisa teratasi.
Dengan demikian ujung tombak dalam memperbaiki mutu pendidikan secara umum, termasuk pemahaman akan nilai-niali dasar negara dan UUD 1945 berada di tangan seorang guru pengajarnya.
Walaupun di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tidak ada ditemukan mengenai pengertian dari guru, akan tetapi banyak sekali para penulis yang memberikan pengertian terhadap sebutan guru.
Dalam pandangan masyarakat Jawa, “guru” dilihat sebagai akronim dari “gu” dan “ru”. Gu diartikan dapat digugu (dianut) dan ru berati bisa ditiru (dijadikan teladan). Alih bahasa Belanda J.E.C Gericke dan T.Roorda menerangkan bahwa guru berasal dari bahasa Sansekerta, yang artinya berat, besar, penting, baik sekali, terhormat dan juga berarti pengajar (IR Poedjawijatna, 1975 ; 98).
Guru di dalam masyarakat kita dianggap sebagai manusia sumber. Ada pepatah Jawa yang mengatakan bahwa “Guru kuwi sumur kang lumaku tinimba” , artinya guru merupakan orang yang tahu segala hal dan minta apapun kepada guru akan dilayani.
Roestiyah berpendapat bahwa dalam pandangan tradisional guru dilihat sebagai seseorang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan ilmu pengetahuan. Pendapat lain mengatakan bahwa “Teacher is a person who causes a person to knowledge or skill” , atau guru adalah seseorang yang menyebabkan orang lain mengetahui atau mampu melaksanakan sesuatu atau memberikan pengetahuan atau keterampilan kepada orang lain (Hadi Supeno, 1997; 26).
Kedudukan seorang guru di dalam masyarakat kita sering diidentikkan sebagai seorang pendidik. Menurut Sugarda Poerbakawatja, guru diartikan sebagai seseorang yang memberi atau melaksanakan tugas pendidikan, tugas untuk mendidik.
Pandangan demikian mengisyaratkan bahwa pendidikan seakan sama dengan guru atau pendidikan akan berlangsung bisa tanpa faktor lain, tetapi tidak bisa tanpa faktor guru, atau minimal guru adalah inti dari setiap proses pendidikan.
Sementara itu di dalam pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa Pendidik dan tenaga kependidikan (termasuk guru) berkewajiban : menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis.
Dalam rangka memenuhi kewajibannya untuk menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis sebagaimana tercantum di dalam pasal 40 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2003 tersebut di atas, maka seorang guru dituntut kreatifitasnya untuk mencari, menemukan, dan berinovasi dalam menerapkan metode apa yang dianggap cocok, yang dalam hal ini oleh penulis menerapkan metode proyek.
Walaupun metode proyek bukan merupakan metode utama dalam proses belajar-mengajar di sekolah. Metode ini pada kondisi tertentu dapat digunakan untuk mengintegrasikan pengetahuan mengenai pelajaran dengan masalah-masalah dalam masyarakat, untuk menimbulkan minat terhadap suatu bidang studi, dan melatih siswa untuk bekerjasama dalam bidang tertentu dalam satu organisasi.
Berdasarkan langkah-langkah penerapan metode proyek yang telah dipaparkan pada bab II (kajian teori) diatas, sebagai contoh, penulis memaparkan suatu program pembelajaran yaitu tentang Ideologi Pancasila, menyangkut pengertian, makna dan dampaknya bagi kehidupan sehari-hari. Langkah-langkah penerapan program pembelajaran tersebut dapat dijelaskan dibawah ini, yaitu :
1. Penyelidikan dan observasi.
Awalnya guru memancing minat peserta didik dengan bertanya. Pertanyaan yang diajukan harus berkaitan dengan materi pembelajaraan yang akan disampaikan. Sebagai contoh, guru bertanya : “Apakah ada yang mengetahui apa itu ideologi?” Setelah itu, peserta didik diberi tugas untuk menelaah hal tersebut dengan cara mengkaji buku-buku diperpustakaan dan browsing internett.
2. Penyajian bahan baru.
Guru atau narasumber menjelaskan tentang pentingnya ideologi bagi suatu bangsa, cara penerapannya dan dampaknya secara garis besarnya saja.
3. Pengumpulan keterangan.
Peserta didik berusaha mencari keterangan dan mengumpulkan bahan yang berkaitan dengan ideologi Pancasila. Seperti mencari tentang pengertian ideologi, kegunaan ideologi Pancasila, dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
4. Mengorganisasikan data.
Setelah peserta didik mendapatkan informasi dari berbagai sumber, baik dari fakta-fakta maupun dari media, peserta didik menggolongkan data-data tersebut untuk menarik sebuah kesimpulan dan membuat sebuah laporan kegiatan.
5. Mengungkapkan data.
Pada tahap terakhir ini, peserta didik berdiskusi yang dimoderatori oleh guru tentang makalah ideologi Pancasila yang telah disusun berdasarkan hasil observasi dan telaah kepustakaan tersebut.
Adapum pendekatan yang bisa dipakai untuk mendukung pembelajaran adalah :
1. Pendekatan Praktik Kerja; pendekatan semacam ini sangat sesuai dengan pelajaran ketata negaraan. Praktik kerja dapat dilaksanakan dalam bentuk pengamatan dan penelitian singkat untuk memahami, menelaah dan mengenal makna ideologi, struktur konstitusi negara UUD 1945 seperti mengikuti ekstra pemahaman 4 pilar kehidupan bangsa serta mengikuti perlombaan yang berkaitan dengan Pancasila dan UUD 1945,.
2. Pendekatan Pengalaman Peserta Didik; Melalui pendekatan ini, peserta didik digiring untuk belajar mendalami materi PKn melalui kenyataan-kenyataan yang dialami oleh peserta didik itu sendiri. Misalkan peserta didik ditugaskan untuk menulis data dan fakta tentang tata cara pelaksanaan pemilu di Indonesia yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku., menuliskan pengalaman sehari-harinya dalam sebuah matrik kerja tentang pengamalan sila-sila Pancasila dalam kehidupan keluarga, sekolah dan masyarakat.
3. Pendekatan Tanya Jawab; Dalam pendekatan ini peserta didik belajar mencari, bertanya dan menemukan sendiri berbagai fakta sosial, politik, maupun hukum yang sedang diamatinya. Misalkan dengan mewawancarai seorang pejabat, pimpinan partai politik, dan sebagainya.
Jadi di dalam mengajarkan suatu konsep atau suatu pokok bahasan yang baru, selalu dihubungkan dengan kenyataan yang ada di masyarakat yang berkaitan dengan pokok bahasan yang sedang dibahas. Dengan kata lain pokok bahasan selalu dihubungkan dengan praktiknya di masyarakat. Kegiatan menghubungkan pokok bahasan dengan praktiknya di masyarakat inilah yang dipakai dasar dalam membimbing peserta didik belajar.
Kejadian-kejadian di masyarakat diambil sebagai bahan untuk berfikir mendalami pokok bahasan yang baru dipelajari, sehingga peserta didik bisa berpikir, menganalisa, menilai dan menyimpulkan kenyataan-kenyataan yang terjadi di masyarakat dibenturkan dengan teori yang ada. Satu hal menarik yang menjadi sorotan peserta didik dalam kaitannta dengan makna dasar negara Pancasila, yang dalam pembahasan dikatakan bahwa sila-sila dalam Pancasila adalah norma dasar dan hierarkis dimana sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) menjiwai sila kedua, ketiga, keempat dan kelima,, namun fakta dilapangan oleh pengamatan anak/peserta didik tidak demikian, yang oleh peserta didik disampaikan contoh tentang rekrutmrn kepala daerah ataupun penerimaan PNS yang tidak mensyaratkan secara utama tentang kualitas iman dan taqwa seseorang sebagai syarat utama, tetapi justru ijazah/pendidikan formal.
Dalam hal penilaian, guru dapat melakukannya terhadap :
1. Keaktifan saat mencari bahan materi atau berbicara dengan narasumber.
2. Makalah yang dibuat.
3. Keaktifan dalam diskusi.
Dengan metode proyek yang telah penulis praktikkan sejak tahun 2008 bersamaan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 di SMAN 5 Banjarmasin, didapat beberapa kelebihan dibandingkan metode yang telah dipakai sebelumya yaitu :
- Kelas menjadi lebih hidup dengan suasana yang demokratis.
- Peserta didik lebih bersemangat dalam menghadapi pelajaran, karena bahan pelajarannya sesuai dengan kebutuhan dan minat mereka.
- Peserta didik terlatih untuk mengemukakan pendapat atas sesuatu hal.
- Peserta didik lebih bisa bersosialisasi dan tidak takut berhadapan dengan masyarakat, bahkan dengan pejabat sekalipun.
- Sumber bahan pembelajaran lebih bervariasi, sehingga peserta didik merasa tidak bosan mengikuti pelajaran.
- Evaluasi terhadap peserta didik lebih menyeluruh meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Satu hal yang perlu diperhatikan, di dalam menerapkan metode ini, seorang guru dituntut untuk lebih siap dan lebih menguasai materi pelajaran yang akan diajarkan, guru harus bersifat bersahabat, kooperatif, demokratis, namun harus tetap memelihara wibawa. Selain itu yang perlu dimiliki seorang guru yang menerapkan metode ini harus dapat memberi jalan kepada peserta didik untuk memiliki keterampilan berpikir ilmiah guna menemukan sistem nilai yang positif sebagai seorang warga negara.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari paparan tersebut diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni:
1. Pemahaman akan materi PKn oleh peserta didik masih kurang yang dapat dilihat dari namuaknya permasalahan sosial yang ada, seperti terjadinya pelecehan seksual, pembunuhan, kasus korupsi, tawuran antar peserta didik maupun mahasiswa bahkan melebar pada konflik antar suku di masyarakat, dikarenakan faktor; a) luasnya materi dengan jumlah jam terbatas; b) perkembangan materi pelajaran PKn yang sangat cepat tidak diimbangi dengan tersedianya buku yang relevan; dan c) metode yang minim variasi digunakan oleh guru yang menimbulkan kejenuhan belajar peserta didik..
2. Metode proyek cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran PKn sebagai alternatif dari penggunaan metode lain seperti Ceramah, diskusi dan lain-lain, dimana dengan penggunaan metode ini banyak manfaat yang diperoleh, baik bagi guru maupun bagi peserta didik yakni; (a) bagi guru, pembelajaran tidak monoton dan bisa mengajak peserta didik untuk bersama-sama aktif menelaah materi PKn di berbagai sumber termasuk dilingkungan sekitar; (b) bagi peserta didik mereka dapat mengeksplor kekreativitasnya dalam mengerjakan tugas yang diberikan guru dan mendapatkan pengalaman nyata untuk menyandingkan antara teori dan fakta di sekitarnya; dan (c) bagi sekolah, dapat meningkatkan imej/kesan positif terkait dengana prestasi peserta didik dalam perlombaan cerdas cermat UUD NKRI 1945 yang diadakan oleh MPR RI dengan 3(tiga) tahun berturut-turut lolos mewakili Kota Banjarmasin dalam lomba penyisihan tingkat Provinsi Kalimantan Selatan.
B. Saran
Sebagai sebuah alternatif dalam melaksanakan pembelajaran PKn, tidaklah salah jika sebagai guru aktif meluaskan wawasan dan mengkaji beberpa metode mengajar untuk dipraktekkan dalam pembelajaran dikelas, guna mencapai pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi .2003. Psikologi Sosial. Jakarta . PT Raja Grafindo Persada:
Abu Ahmadi dan Joko Tri Pasetya. 2005. Strategi Belajar Mengajar. Pustaka Setia. Bandung
Departemen Pendidikan Nasional, 2000, Kurikulum Sekolah Menengah Umum, Jakarta, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Menengah Umum
.
Hadi Supeno, 1997, Potret Guru, Jakarta, Sinar Harapan.
Herminarto Sofyan. 2006. Implementasi pembelajaran Berbasis Proyek Pada Bidang Kejuruan. Cakrawala Pendidikan. Yogyakarta: LPM UNY
IR Poedjawijatna, 1975, Filsafat Sana Sini, Yogyakarta, Kanisius.
Moh. Uzer Usman, 1994, Menjadi Guru Profesional, Bandung, PT.Remaja Rosdakarya, Cet ke-V.
Paulo Freire, 1985, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES.
Paulo Freire, 1985, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan. Gramedia Jakarta
Poerwadarminta, W.J.S. (1958). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta Balai Pustaka
Roestiyah, 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. Rineka Cipta
Saiful Bahri Djamarah, 2000, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta, PT. Rineka Cipta, Cet.I.
UUD NKRI 1945
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Permendiknas No. 22 Tahun 2006
Permendiknas No. 23 Tahun 2006
Data Pribadi Penulis
Nama peserta : Drs. Mukhlis Takwin, S.H
Tempat dan tanggal lahir : Tg. Pelayar, 18 Desember 1969
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan Terakhir : Sarjana Strata satu (S1) FKIP Unlam &
STIH Sultan Adam Banjarmasin
Jurusan : IPS Prog. Studi PMP – KN
Unit Kerja : SMA Negeri 5 Banjarmasin
Alamat Lengkap Kantor : Jl. Sultan Adam RT.22 No. 80 Banjarmasin 70122
Jabatan Sekarang : Guru
Mengajar Mata Pelajaran : PKn
Prestasi sebagai guru SMA : Juara II Guru Berrprestasi SMA tingkat Kota Banjarmasin Tahun 2011
Juara I Guru PKn SMA Berprestasi Tingkat Kota Banjarmasin Tahun 2013.
Juara I Guru PKn SMA Berprestasi Tingkat Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2013